Arthopoda pada Ekosistem Tanaman Cabai

Ruth Stella Petrunella Thei, Ruth Stella Petrunella Thei Arthopoda pada Ekosistem Tanaman Cabai. Pustaka Bangsa (Anggota IKAPI).

[img]
Preview
Text
Buku Arthopoda pada Ekosistem Tanaman Cabai.pdf

Download (927kB) | Preview

Abstract

Arthtropoda merupakan filum terbesar dari animalia di ekosistem, arthropoda dicirikan dengan tubuhnya tersegmentasi, tubuhnya berbentuk simetris bilateral, terdapat ruas-ruas pada tungkai dan bagian tubuh lainnya. Pada setiap ruas terdapat sepasang appendage atau embelan (bagian tubuh yang menonjol dan mempunyai ujung yang bebas bergerak misalnya bagian anggota tubuh sebagai alat gerak, alat makan dan alat indra) dan tubuhnya terbungkus oleh zat chitin (Yuliprianto, 2010). Keberadaanya dapat ditemui dimana saja, didalamnya termasuk ada serangga, laba-laba, kutu, lipan dan collembola. Arthropoda dalam ekosistem memiliki peran sebagai hama, predator, dekomposer, penyerbuk, parasitoid, dan parasit (Danti,2018). Kelompok utama arthropoda tanah dan serasah termasuk Acarina, Collembola, Myriapoda serta berbagai ordo kelas Insecta lainnya memiliki peran yang penting dalam ekosistem darat, mereka dikenal karena peran aktifnya dalam dekomposisi bahan organik, siklus hara, produktivitas pertanian, pertumbuhan tanaman dan meningkatkan kondisi fisika, kimia dan biologis tanah (Ogedegbe dan Egwuonwu, 2014). Peran Arthropoda dalam ekosistem dibagi berdasarkan tingkat trofiknya yaitu arthropoda herbivora, arthropoda karnivora dan arthropoda dekomposer. Arthropoda herbivor masuk keadalam kategori hama karena menjadi penyebab kerusakan pada Arthropoda pada Ekosistem Tanaman Cabai 2 Ruth Stella Petrunella Thei tanaman memakan seluruh bagian tanaman. Arthropoda karnivor merupakan arthropoda golongan musuh alami diantaranya predator dan parasitoid yang memangsa atau melemahkan oraganisme lainnya. Kemudian arthropoda dekomposer adalah golongan arthropoda pengurai yang membantu mikroorganisme dalam mengurai serasah atau sisa – sisa tanaman dan hewan yang mati kemudian hasil dekomposisi sangat berguna karena dapat meningkatkan kesuburan (Mariatul, 2014). Keberadaan beberapa jenis arthropoda permukaan tanah sering digunakan sebagai parameter kualitas tanah, apakah tercemar atau tidak, apakah pHnya asam atau netral dan apakah kandungan mineral seperti C- organik pada lahan tersebut tinggi atau rendah dan juga keberadaan arthropoda permukaan tanah dijadikan sebagai bioindikator terhadap kualitas lingkungan dan kesuburan lahan. Selain itu, adanya interaksi antar arthropoda permukaan tanah dengan faktor abiotik mengakibatkan terjadinya pertukaran zat dan energi terus-menerus sehingga ekosistem pada lahan tersebut menjadi stabil. Sesuai dengan pernyataan Adriani et al. (2013) aktivitas fauna-fauna permukaan tanah yang terkadang masuk kedalam tanah mempengaruhi banyaknya poro-pori tanah yang terbentuk. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk negara Indonesia. Tanaman cabai yang umum dikenal oleh masyarakat yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika. Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) adalah salah satu sayuran penting di dunia yang dibudidayakan sebagai komoditas unggulan hortikultura (Sulandari, 2004, Pramarta, 2014). Berdasarkan undang- undang nomor 13 tahun 2010 tentang hortikultura disebutkan bahwa cabai rawit termasuk tiga komoditas strategis Nasional selain cabai besar dan bawang merah Ruth Stella Petrunella Thei Arthropoda pada Ekosistem Tanaman Cabai 3 (BPS, 2014). Cabai digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana cabai digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan (Alex, 2013). Produksi cabai rawit di daerah Nusa Tenggara Barat pada musim tanam 2014 sebanyak 64.010 ton, meningkat 121,29 persen dibanding tahun sebelumnya karena adanya kenaikan produktifitas dan luas lahan panen. Kenaikan produktifitasnya sebesar 110,31 % dan peningkatan luas panen sebesar 5,22 % dibanding musim tanam 2013 (BPS, 2014). Seiring dengan meningkatnya produksi, permintaan akan cabai Nasional untuk cabai besar dan cabai kecil (rawit) mencapai 1.220.008 ton dengan rata-rata konsumsi cabai per kapita mencapai 0,43 kg/kapita/bulan (Windarningsih, 2015). Permintaan akan cabai setiap tahun selalu meningkat oleh karena itu cabai merah maupun cabai rawit menjadi salah satu sayuran yang penting dibudidayakan secara komersil didaerah komersil. Masalah utama cabai di Indonesia yaitu peningkatan volume impor cabai yang terjadi setiap tahunnya. Disebabkan harga cabai didalam negeri yang terus melonjak dan tidak adanya pembatasan kuota impor untuk cabai. Selain itu, penyebabnya karena produktifitas, daya saing yang rendah dan kondisi iklim Indonesia yang kurang mendukung untuk menanam cabai yang berimbas pada menurunnya produksi cabai (Dewi, 2016). Kendala yang sering dihadapi petani dalam peningkatan produksi cabai adalah gangguan hama. Bebarapa hama penting yang umumnya menyerang tanaman cabai yaitu ulat grayak (Spodoptera litura fabricius), kutu daun (Myzus percisae), lalat buah (Bactrocera dorsalis hendel), thrips dan tungau (Rukmana,1996). Sehingga dalam pengendaliannya bisa digunakan pengendalian biologi praktis, ekonomis dan aman bagi lingkungan (Oka, 1995). Salah satu strategi pengendalian hama terpadu (PHT) dapat dipelajari melalui pendekatan pembelajaran Arthropoda pada Ekosistem Tanaman Cabai 4 Ruth Stella Petrunella Thei struktur agroekosistem. Komposisi jenis-jenis oganisme seperti serangga hama, musuh alami dan kelompok boitik lainnya. Sehingga diciptakan hubungan yang seimbang antara manusia, lingkungan hidup (lingkungan biotik dan abiotik) dan kebutuhan ekonomi. Pendekatan untuk mempelajari struktur agroekosistem adalah dengan mempelajari keanekaragaman hayati. Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beranekaragam, mulai dari Protozoa, Porifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata (Suin, 2003). Pada permukaan tanah terdapat banyak makhluk hidup terutama hewan yang sebagian besar dihuni oleh jenis-jenis Arthropoda. Keanaekaragaman Arthropoda menentukan kestabilan agroekosistem pada persawahan. Kehadiran Arthropoda sebagai salah satu agens hayati, tidak lepas dari peranannya sebagai bagian rantai makanan dan organisme yang memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia (Untung, 1997). Peranan Arthropoda lainnya di alam diantaranya yaitu sebagai perombak bahan organik, penyerbuk pada tanaman, musuh alami hama dan sebagai perusak tanaman. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang kelim- pahan dan keanekaragaman Arthropoda permukaan tanah pada ekosistem pertanaman cabai rawit (capsicum frutescens l.) sehingga pengetahuan terhadap kebera- daannya dapat dijadikan dasar untuk pengendalian hama non kimiawi (hayati). Cabai (Capsicum sp.) salah satu hasil komoditi hortikultura yang masuk kedalam tiga komoditas strategis Indonesia bersama dengan bawang merah. Produksi cabai untuk daerah Nusa Tenggara Barat pada tahun 2019 mengalami penurunan, jumlah produksi cabai rawit pada tahun 2019 sebanyak 164,77 ribu ton atau turun sebesar 21,73% dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 210,53 ribu ton. Hal yang sama juga terjadi pada produksi cabai besar, tahun 2019 jumlah produksi sebanyak 17,679 ribu ton turun 26.33% Ruth Stella Petrunella Thei Arthropoda pada Ekosistem Tanaman Cabai 5 dibandingkan pada tahun 2018 yang mencapai 23,998 ribu ton (Kementan RI, 2020). Kendala produksi cabai biasanya disebabkan oleh faktor cuaca yang kerap berubah serta serangan dari Hama dan Penyakit tanaman. Serangan hama pada tanaman cabai tidak bisa dihindari, baik pada fase vegetatif maupun generatif serangan hama pada tanaman cabai terbilang cukup tinggi. Hama-hama penting pada tanaman cabai diantaranya lalat buah, kutu kebul (Planococcus citri), kutu daun (Myzus percisae), ulat grayak (Spodoptera litura), Ulat tanah (Agrotis Ipsilon) (Cahyono, 2017). Tingkat serangan yang disebabkan oleh hama-hama tersebut sering menjadi penyebab menurunnya produksi cabai dan perlu dilakukan pengendalian untuk mengurangi tingkat kerusakan dan mampu mencegah terjadinya penurunan produksi cabai (Oka, 1995). Penggunaan pestisida yang berlebihan yang berdampak pada perubahan dari ekosistem pertanian yang telah stabil. Kondisi ini berdampak langsung pada serangga Arthropoda yang di dalamnya terdapat arthropoda musuh alami dan Arthropoda netral yang penting sebagai penyeimbang ekosistem. Penggunaan insektisida yang berlebihan berdampak sangat merugikan secara langsung bagi keanekaragaman hayati serangga termasuk Arthropoda predator dan parasit, menimbulkan resurgensi dan tidak menutup kemungkinan serangga lain yang mempunyai fungsi ekologis penting seperti serangga penyerbuk pun ikut mati terutama penggunaan insektisida yang berspektrum luas. Aplikasi pestisida kimia saat ini masih banyak dilakukan oleh petani dengan cara disemprotkan dan disebarkan yang memungkinkan sebagian besar deposit atau residu pestisida jatuh pada permukaan tanah (Kinasih, 2014). Penerapan konsep PHT dalam budidaya tidak sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan produktivitas tanaman tetapi secara langsung juga Arthropoda pada Ekosistem Tanaman Cabai 6 Ruth Stella Petrunella Thei mempengaruhi keberadaan dari arthropoda terutama arthropoda permukaan tanah, penggunaan agen hayati dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan banyak ditemukan di tanah baik dalam bentuk makroorganisme seperti laba-laba, semut ataupun kelompok mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Dalam ekosistem adanya kelimpahan hama akan menarik minat predator untuk datang dan tinggal di tempat tersebut, kemudian diikuti dengan meningkatnya kemampuan predator dalam memangsa. Hama yang berbeda memungkinan tersedianya musuh alami yang beragam pada suatu ekosistem (Danti,2018). Selain itu, kelimpahan, keanekeragaman dan komposisi arthropoda tanah dapat dijadikan indikator dalam menilai keadaan suatu ekosistem lahan yang menentukan apakah kondisi lahan optimum untuk ditinggali oleh serangga seperti subur atau tidaknya lahan. Tanah yang subur dimana banyak terdapat bahan organik, kemudian komponen kimia dan mineral tanah yang optimum akan disenangi oleh serangga tanah atau arthropoda tanah (Samudra et al, 2013) Keragaman yang tinggi menunjukkan bahwa dalam suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Keragaman organisme yang tinggi di suatu ekosistem, rantai makanan terbentuk lebih panjang dan juga lebih banyak simbiosis-simbiosis yang meng- hasilkan umpan balik positif yang dapat mengurangi gangguan-gangguan dalam ekosistem sehingga terwujud ekosistem yang seimbang. Keragaman menjadi indikator dalam mengukur stabilitas komunitas (kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil walaupun terdapat gangguan terhadap komponen- komponennya) (Wijayanti, 2011)

Item Type: Other
Subjects: S Agriculture > S Agriculture (General)
Divisions: Fakultas Pertanian
Depositing User: . Salahudin, A.Md.,S.Adm. ,
Date Deposited: 19 May 2023 06:02
Last Modified: 19 May 2023 06:02
URI: http://eprints.unram.ac.id/id/eprint/38125

Actions (login required)

View Item View Item