NAHDLATUL WATHAN DI ERA REFORMASI Agama, Konflik Komunal dan Peta Rekonsiliasi

Hamdi, Saipul (2018) NAHDLATUL WATHAN DI ERA REFORMASI Agama, Konflik Komunal dan Peta Rekonsiliasi. PULHAM Media, Jalan Mangkuyudan MJ III/216 Yogyakarta 55143. ISBN 978-623-91690-0-8

[img]
Preview
Text
Nahdlatul Wathan di Era Reformasi Agama, Konflik Komunal dan Peta Rekonsiliasi.pdf

Download (38MB) | Preview

Abstract

SALAH satu dampak dari kejatuhan rezim Suharto pasca gerakan reformasi 1998 adalah munculnya instabilitas negara yang merembet pada terciptanya instabilitas di beberapa daerah. Peran dan posisi negara semakin melemah pasca runtuhnya rezim otoriter Orde Baru dan sebaliknya peran kelompok civil society semakin kuat dan mampu memainkan peran penting dalam proses reformasi sistem politik dan iklim demokrasi di Indonesia. Rakyat tidak lagi takut dengan pemerintah atau aparat kepolisian, sebaliknya rakyat justru dalam konteks tertentu yang mengendalikan kondisi sosial politik yang berkembang. Derasnya arus reformasi dan demokratisasi di Indonesia bukannya tanpa risiko keamanan. Masyarakat yang belum siap secara penuh dengan perubahan-perubahan akibat arus tersebut, rentan dengan konflik dan kekerasan komunal yang melibatkan satu komunitas dengan komunitas yang lain. Terbukti sejak lengsernya Suharto, konflik dan kekerasan sosial mengalami reproduksi dan eskalasi dalam ruang, konteks, dan struktur yang berbeda-beda. Konflik internal organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang terjadi sejak 1998 pasca wafatnya Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1997, jika dilihat secara makro, adalah bagian dari serial konflik-konflik daerah yang terjadi akibat ketidakstabilan negara pada waktu itu. Walaupun konteksnya lokal yang hanya melibatkan kelompok internal NW, akan tetapi situasi politik nasional secara tidak langsung memiliki pengaruh besar atas terjadinya konflik tersebut. Konflik dan perpecahan yang berawal dari perebutan kekuasaan antarelit mengalami transformasi ke dalam praktik kekerasan sosial berkepanjangan yang melibatkan hampir seluruh jemaah NW. Seandainya negara dalam kondisi stabil seperti pada masa Suharto, besar kemungkinan friksi dan konflik dapat diatasi, diredakan, didamaikan, dan tidak menjadi bola liar untuk saling meniadakan yang lain. Yang ingin saya katakan bahwa konflik NW adalah sesuatu yang ‘jamak’ karena pada waktu itu konflik menjadi fenomena sosial di banyak daerah. Pada waktu yang bersamaan konflik juga muncul di berbagai daerah seperti konflik etnis di Kalimantan dan Lampung, konflik agama di Maluku, Poso, Jawa, dan Lombok, serta konflik politik di Aceh, Maluku, dan Papua. Berbicara tentang konflik NW, tidak bisa lepas dari konteks lokal kedaerahan di mana Nusa Tenggara Barat, Lombok khususnya, merupakan daerah rawan konflik. Pada dasarnya, konflik dan kekerasan telah menjadi bagian dari konstruksi budaya dan tradisi masyarakat lokal yang sulit untuk dihilangkan. Selain faktor budaya, terdapat juga faktor-faktor lain yang menyebabkan hal tersebut termasuk faktor ekonomi, sektarianisme, esklusivisme, primordialisme, dan pendidikan multikulturalisme yang masih kurang. Karakter mayarakat Lombok yang mudah terprovokasi dan tradisi saling menguji ‘ilmu kesaktian’ telah membuka akses kepada ruang-ruang konflik dan kekerasan sosial. Sebagai contoh, konflik NW tidak hanya melibatkan kelompok internal antar jemaah NW, tetapi juga kelompok eksternal orang-orang sakti (pepadu) yang ingin menguji kekuatan dan kesaktian ilmu mereka. Mereka menggunakan dan memanfaatkan konflik NW sebagai arena pertarungan untuk menguji ketinggian ilmu yang dimiliki. Sejak masa reformasi konflik dan kekerasan sosial semakin meningkat di Lombok yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid. Pola-pola konflik yang muncul di Lombok sangat beragam; mulai dari konflik agama yang melibatkan Muslim dan Kristen di Mataram, konflik Ahmadiyah di Lombok, konflik internal Wahabi, konflik etnis (Hindu) Bali dengan (Muslim) Sasak di Mataram, konflik Pamswakarsa Ampibi dengan masyarakat di Desa Perampuan Lombok Barat, dan konflik antar kampung di Lombok Tengah dan di Lombok Timur. Konflik Nahdlatul Wathan merupakan konflik produk reformasi yang berkepanjangan yang sampai sejauh ini belum menemukan titik temu. Berbagai upaya islah telah dilakukan oleh kedua kubu dan juga pemerintah daerah sebagai fasilitator, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Walaupun secara kultural sebagian besar jemaah NW sudah bersatu, akan tetapi secara struktural NW secara konstan masih pada dualisme kepemimpinan. Konflik NW adalah konflik yang unik dan kompleks karena melibatkan banyak faktor di dalamnya. Konflik NW termasuk konflik yang berkepanjangan padahal adanya unsur keluarga di dalamnya yang semestinya dengan cepat dapat diselesaikan. Fakta berbicara lain, NW semakin larut dalam konflik struktural di mana kedua kubu masih mempertahankan posisi masing-masing. Hal ini memperkuat tesis Lewis Coser (1956) bahwa semakin dekat hubungan antara pelaku konflik, maka semakin sulit konflik itu diatasi. Pada waktu yang bersamaan kelompok ketiga atau yang dikenal kelompok kepentingan mempunyai posisi kuat di tingkat struktural, mereka sekuat tenaga mempertahankan konflik demi menjaga kepentingan individu dan kelompoknya. Jika pemimpin NW tidak pernah mampu menekan atau melawan kelompok ketiga yang berupaya mempertahankan konflik, maka NW selamanya tidak akan pernah bersatu kembali. Islah hanya bagian dari mimpi-mimpi indah warga NW yang tidak akan pernah terwujud. Konflik NW berbeda dengan konflik-konflik yang lain. Biasanya jika sebuah organisasi dilanda perpecahan dan konflik yang hebat, maka organisasi tersebut akan terancam mundur bahkan bubar. Kasus konflik NW memperlihatkan dinamika yang berbeda. Konflik telah membuat organisasi ini semakin luas ruang pendidikan dan dakwahnya dan juga semakin kuat secara politik dan mapan secara kelembagaan. Di tengah krisis perpecahan dan konflik yang melanda jemaah NW, justru keberhasilan mulai nampak ketika salah satu kader NW, Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi atau yang dikenal dengan Tuan Guru Bajang (TGB) berhasil menduduki kursi gubernur NTB selama dua periode (2008-2013 dan 2013-2018). Beliau adalah gubernur termuda di Indonesia dengan usia 36 tahun ketika terpilih pada priode awal kepemimpinannya di NTB dalam Pilkada 2008. Tuan Guru Bajang berhasil meraih kursi gubernur NTB tanpa ‘didukung’ oleh kubu NW yang lain. Kemenangan TGB dalam dunia politik ini menjadi ‘trend’ dan sekaligus ‘virus’ di kalangan Jemaah, khususnya para tuan guru dan kader-kader muda NW, banyak di antara mereka yang mengikuti langkah beliau masuk di ranah politik praktis dan berhasil sebagai bupati dan walikota. Konflik juga telah mendorong kader-kader NW untuk memperluas sayap organisasi ke tingkat nasional. Sejak era reformasi NW telah hadir di kota-kota besar seperti Jakarta, Samarinda, Bogor, Yogyakarta, Batam, dan Makasar. Ketika pendiri NW masih hidup, fokus pembangunan NW lebih kepada daerah Lombok, bahkan NW identik dengan ke-Sasakan-nya yang berhasil mengintegrasikan budaya lokal dengan agama. Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri NW dan ulama kharismatik, seringkali menggunakan simbol-simbol lokal sebagai legitimasi dakwahnya supaya cepat diterima oleh masyarakat lokal seperti simbol Gunung Rinjani, Dewi Anjani, Amaq Milasih, Amaq Anom, dan kerajaan Selaparang. Dampaknya bahwa di satu sisi NW sangat kuat mengakar di Lombok, tetapi di sisi lain konsep lokalitas ke-Sasak-an inilah yang menghambat arus migrasi NW keluar daerah. Sekarang ini, penyebaran NW keluar daerah lebih intens dilakukan oleh para kader NW yang dikirim oleh pengurus pusat untuk berdakwah dan membangun madrasah. Selain itu, posisi gubernur NTB dan politisi NW yang terlibat di partai politik nasional juga sangat membantu mengenalkan NW keluar daerah lewat jalur komunikasi politik dan jaringan struktural di pemerintahan. Sebagai kelompok majoritas di Lombok keberadaan NW sangat diperhitungkan oleh pemerintah pusat sebagai mitra politik untuk kebutuhan Pileg dan Pilpres. Potensi besar yang dimainkan oleh NW sebagai kelompok mayoritas tidak akan pernah sempurna jika konflik masih menghantui para kadernya. Upaya-upaya islah atau rekonsiliasi selama ini selalu kandas di tengah jalan. Kedua kubu belum menemukan kata sepakat dalam proses rekonsiliasi karena kurangnya dialog dan kuatnya kepentingan kelompok ketiga yang sengaja menginginkan konflik tetap dipertahankan. Faktor wasiat pendiri NW yang meramalkan durasi konflik selama seperlima abad atau 20 tahun dijadikan dalih untuk menunda kesepakatan ‘islah’ karena khawatir jika wasiat tersebut tidak benar. Kebuntuan kran islah dan rekonsiliasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh kader NW untuk mencari jalan alternatif. Ruang-ruang sosial perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menyatukan NW termasuk ruang sosial-politik. Pada Pilkada bupati Lombok Tengah di tahun 2010 misalnya, NW menggunakan jalur politik sebagai bargaining position menuju islah dan ternyata cukup berhasil. Kedua kubu berhasil mempertemukan masing-masing pimpinan organisasi dan melakukan kerja sama dalam bidang politik, yakni mendukung calon dari salah satu kubu yang ikut dalam Pilkada. Akan tetapi kegagalan menuju kursi bupati pada Pilkada tersebut membuat proses rekonsiliasi tersendat-sendat dan kandas di tengah jalan. Kompleksitas konflik NW yang tidak ada ujungnya ini telah menggugah saya selaku akademisi yang lahir dari rahim dan besar di lingkungan NW untuk meneliti apa sebenarnya yang menjadi faktor utama konflik tersebut dan cara mengatasinya. Saya berharap, buku ini dapat menjadi salah satu referensi yang menawarkan jalan tengah menuju rekonsiliasi NW. Buku ini tidak hanya bicara konflik dan rekonsiliasi, akan tetapi mengupas lebih dalam kultur NW yang dikembangkan oleh Tuan Guru Zainuddin. Kultur Islam versi NW sangat menarik untuk dikaji lebih jauh karena banyak sekali kekayaan lokal NW yang belum begitu dipahami oleh komunitas NW sendiri, apalagi komunitas di luar NW. Pada akhirnya, kritik, perbaikan dan juga saran sangat saya harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan buku ini.

Item Type: Book
Keywords (Kata Kunci): Nahdlatul Wathan, Reformasi, Agama, Konflik Komunal, Peta Rekonsiliasi
Subjects: H Social Sciences > H Social Sciences (General)
H Social Sciences > HM Sociology
Divisions: Program Studi Sosiologi
Depositing User: Saipul Hamdi
Date Deposited: 08 Jun 2023 12:31
Last Modified: 08 Jun 2023 12:31
URI: http://eprints.unram.ac.id/id/eprint/39465

Actions (login required)

View Item View Item